Desember 2011
Tak bosan. Tak akan pernah bosan aku menatap sesosok gadis di hadapanku.
Tetap cantik, meski kini ia tengah terbaring lemah dengan wajahnya yang
pucat pasi. Entah mengapa, dalam tak kesadarannya aku seakan melihatnya
tengah tersenyum kepadaku. Senyum yang tak asing buatku. Senyum yang
akrab menyapaku di setiap hari-hariku….. dulu,,,,
“Aku merindukanmu”
Ucapku terisak bukan untuk yang pertama kalinya. Aku yakin ia akan
mendengar apa yang ku katakan, walau tubuhnya tak bergerak sedikitpun.
Hanya suara dari mesin pendeteksi detak jantung yang ramaikan suasana
yang ada kini. Aku merindukannya. Benar-benar merindukannya.
*****
28 Desember 2010
“Pritha, ada bintang jatuh!!!”
“Lalu?”
“Kata orang sih, kalau ada bintang jatuh… segala keinginan kita akan terwujud”.
“Apa kamu percaya sama hal itu? Kamu kan cowo?”
“Emang cowo nggak boleh percaya begituan?! Udah deh, mending kita coba dulu ajah!!”
Langit malam bersolek indah malam ini. Gemintang anggun hiasi kepekatan
malamnya. Dan di bawah dekapan malamnya, ku habiskan waktu bersama
Pritha, sahabatku. Seorang gadis cengeng yang periang, menyenangkan
sekaligus menyebalkan. Gadis kecil keras kepala yang terus mengajakku
untuk main boneka bersamanya, meski ia tahu bahwa aku seorang bocah
laki-laki. Gadis cilik yang super cerewet dan mau menang sendiri. selalu
memaksa aku untuk terus memboncengnya mengelilingi kompleks perumahan
kami, meski kami sudah mengitarinya lebih dari 5 kali.
“Udah berapa lama ya kita saling kenal?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibirnya.
“Nggak tau!! Emang kenapa? Toh, pada awalnya aku terpaksa kan mau main dan kenal sama kamu!”
“Bawel amat sih, aku serius,Pram!!”
“Emang siapa yang nggak serius sih?!”
“Jadi udah berapa lama ya kita jadi sahabat?”
“Enam tahun”.
“Sok tahu! Emang kamu beneran yakin?”
“. . . .”
“Prithaaaaaa!!!!” tiba-tiba suara tante Vivi hadir memecah sunyi yang ada di antara kami.
“Dipanggil noh, Non.”
“iya iya,..aku duluan ya Pram. Sampai besok…:)”
“Aku yakin banget,Tha. Kita udah deket selama enam tahun. Aku nggak
bakal lupa. Nggak akan pernah lupa, Tha. Besok adalah genap enam tahun
pershabatan kita. Semoga kamu juga nggak lupa”, ucapku dalam hati
setelah sosok Pritha melangkah menjauh dariku.
*****
29 Desember 2010
“‘dddrrrrt….dddrrrttt…ddrrrttt’
From : Pritha
+628133xxxxxxx
Pram, jangan lupa ya. Hari ini kita janjian di taman biasa. Jam 9. Oke? Aku tunggu.
. . .
Sekali lagi ku lirik jam tanganku. Pukul 9.05. Sampai saat ini aku belum
menemukan sosok Pritha. Tak biasanya ia terlambat. Dia selalu tepat
waktu. Padahal, tadi aku sudah benar-benar terburu waktu, berusaha untuk
tak terlambat walau hanya untuk kali ini saja. Kekesalanku mulai
muncul. Apa Pritha sengaja datang terlambat untuk mengerjai aku? Awas
saja dia.
Sembari menunggu, ku pandangi tulisan yang terukir di pohon Mahoni yang
rindang ini. Kami menulisnya tepat enam tahun yang lalu. Dan sejak
itulah, kami tetapkan hari itu sebagai hari jadi kami sebagai seorang
sahabat. Sahabat yang akan selalu hadir disaat salah satu di antara kami
jatuh ataupun sebaliknya. Sahabat yang selalu menjadi pendengar paling
baik bahkan terkadang melebihi orangtua kami sendiri. Selalu ada. Selalu
bersama. Sekarang. Dan selamanya. Amiin J
9.15. Pritha masih belum menampakkan sosoknya. Apa dia baik-baik saja?
Tak seperti biasanya ia terlmbat. Apalagi dia yang membuat janji. Tak
ada jawaban dari panggilan ku ke ponselnya. Semua pesanku juga tak
mendapat respon.
To : Pritha
08133xxxxxxx
Tha, kamu dimana? Uda jam beapa ini, Sayang? Inget ya, aku sibuk. Nggak
bisa nunggu lama-lama aku. Kalau bisa bales sms ini. Harus!!!. Still
waiting for you, Tha.
Tiga puluh menit.
Empat puluh lima menit.
Dan sekarang, hampir satu jam aku menunggunya. Pritha masih belum hadir
di sini. Aku ingin marah. Aku benar-benar merasa dihianati. Tapi,
sepertinya aku tak bisa. Ingin aku segera angkat kaki dari tempat ini.
Hilang harap sudah untuk yakin bahwa Pritha akan menginjakkan kakinya di
taman ini. Baiklah lima menit lagi. Ku beri kesempatan lima menit lagi.
Tak lebih. Pritha, ku mohon…
----Lima menit kemudian….----
“Pramana!!!”
Sebuah suara menghentikan langkahku. Suara yang tak asing, begitu akrab
di telingaku, namun terdengar lemah. Suara Pritha. Aku berbalik. Dapat
ku lihat seutas senyum tersimpul di wajah Pritha. Ia tampak pucat.
Lemas. Apa dia sakit? Tapi,….
“Maafin aku yah, Pram….” Dia berhamburan ke pelukanku. Ia menangis sejadi-jadinya. “Kamu marah kan sama aku? Maaf banget, Maaf”.
Ku rasakan bulir-bulir bening hangat basahi bajuku. Aku tak mampu
berkata-kata. Aku sendiri bingung dengan perasaan yang berkecamuk di
dadaku. Apa ku harus marah pada sahabatku? Atau apa? Aku harus
bagaimana? Aku tak tahu.
“Nggak, Tha… nggak,….” Ku tarik tubuhnya dari dekapanku.
“Pramana,…??” ujarnya pelan. Meluncur lagi bulir-bulir bening dari kedua pelupuk matanya.
“Nggak, Tha…. Nggak ada yang perlu dimaafin. J” ku rasakan dingin
pipinya saat ku usap air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. “Emang
tadi kamu kemana?”
“Emm,… anu… ee… er… tt..taadi…”
“Tadi kenapa?” potongku sambil menariknya untuk duduk di rumah pohon kami.
“Tha, tadi kenapa?” ku ulang pertanyaanku sesampainya kami di atas (di rumah pohon)
“Tadi,….. jam di rumahku mati. Ya, jamnya mati. Jadi aku nggak tau kalau uda jam 9 lewat. Sori yah,…”
“kenapa nggak bales sms ku? Toh kamu juga bisa lihat jam yang ada di hape kamu kan?”
“Em, hapeku mati. Batrey.nya habis. Sori…”
“Trus, jam di rumah kamu kan nggak cuma satu kan, Tha?”
“Iya sih, Cuma nggak tahu tuh… pada rusak berjamaah. Tadi papa juga telat pergi ke kantor. Trus mama juga—“
“iya iya. Aku ngerti kok. Nggak usahpanjang-panjang ceritanya. Bawel!!”
“Dasar kamu!! Masih aja ya nyebelin.”
“Emang kamu ngapain ngajak ketemuan? Mau traktir nih?”
“Iih, nih orang. Doyan banget ama yang gratisan. Emang kamu lupa ya?”
“lupa?”
“hari ini kan genap enam tahun kita sahabatan. Pikun banget sih kamu!!”
“O.” jawabku sekenanya.
“Sumpah ya, kamu itu,….. awas kamu, Pram…!!!” protesnya sambil memukul ku gemas.
“Tentu aku nggak lupa, Tha. Dan aku seneng kamu juga nggak lupa”, batinku.
. . . . .
Kami habiskan seharian untuk mengulang segala cerita akan kenangan yang
telah kami jalani bersama. Segala protes ia ajukan atas keisenganku
selama ini. Dengan riang ia bercerita dan tentunya dengan senyumnya yang
tak pernah hilang. Selalu hadir seperti biasanya. Senyumnya indah,
meski harus hadir di wajahnya yang selalu pucat. Sejak awal kami
bertemu, memang ia tampak pucat. Awalnya aku mengira dia mayat hidup,
tapi…. Aku ragu akan ada mayat hidup yang bawel dan super cerewet
seperti dia. Dia tergolong anak tertutup. Jarang keluar rumah.
Orangtuanya super protektif terhadapnya,meski kini ia sudah duduk di
kelas XII SMA. Tapi, aku tahu Pritha bukan anak manja. Aku juga yakin,
orangtua Pritha pasti punya alasan kuat untuk bertindak protektif
terhadapnya hingga detik ini. Mungkin, karena dia anak perempuan
satu-satunya,….
“Tha,…”
“Apa?”
“Kamu janji nggak bakal kaya tadi ya?”
“Maksud lo? ” jawabnya terheran-heran akan sikapku.
“Dasar oneng ya!! Gue tuh coba bersikap perhatian dan romantis sama lo!! Respon yang agak bagus dikit kek!!” protesku.
Dia hanya nyengir dan kembangkan sebuah senyuman di wajahnya kemudian. “Pram, kamu mau janji sesuatu sama aku?”
“Apa’an?”
Dia menatapku lekat-lekat. Tampak sebuah rahasia tersimpan dalam
dirinya. Sesuatu yang sengaja disembunyikan dariku olehnya. Ditariknya
napas panjang, dihembuskannya perlahan kemudian.
“Kalau nanti aku nggak bisa lama-lama ada sama kamu, ataupun nggak bisa
lagi main bareng kamu, kamu jangan marah sama aku yah, kamu—“
“Kamu ngomong apa sih?” potongku cepat. Kata- katanya sangat tak ku
mengerti. Bahkan aku merasa aku membenci untuk mengerti kata-kata yang
baru saja ia ucapkan.
“Dengerin dulu…., Pram”
“Bodo amat!!” jawabku sekenanya.
“Pramana,…” rengeknya.
“Udah sore, yuk pulang. Aku anter”
“Tapi,…”
“Udah, Aku nggak mau Tante Vivi entar ngomel-ngomel ama aku…”
“Pram,…”
“Udah. Ayo!!..” paksaku sambil menarik tangannya yang makin terasa dingin.
*****
26 Desember 2011
“Nak, Pramana….” Suara tante Vivi lembut menyapaku. Membangunkanku akan lelap.
“Udah malem, Sayang. Kamu pulang gih. Besok kamu harus kuliah kan? Bidang kedokteran bukan hal mudah, Sayang”
“Iya sih, Tan. Tapi… Pritha kan….”
“Kan ada tante disini. Besok masih ada hari, kamu kan bisa ke sini lagi?”
“Ya udah tante, Pramana pulang dulu. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya, Sayang”
Suasana kota Bandung makin ramai. Kerlap-kerlip lampu kota beradu indah
di pinggiran jalan protocol utama. Suasana berbeda sungguh terasa saat
aku melangkah keluar dari gedung rumah sakit yang serba putih. Ku
teruskan langkahku ke gerbang utama rumah sakit. Ku hentikan sebuah
taksi. Ku komando sang sopir untuk bergegas menuju ke rumah karena hari
makin larut, aku tak ingin membuat mama khawatir akan aku. Dalam taksi
teralun lagu “Seven Years Of Love” . Sebuah lagu yang kembali
membangkitkan ingatanku akan kenangan bersama Pritha dulu. Saat dimana
aku bisa melihat senyumnya yang menenangkan. Teringat olehku, bahwa
tepat 3 hari lagi pada setahun lalu adalah hari dimana aku dan Pritha
sempat kembali mengukir janji. Pritha, aku yakin kamu tak akan pernah
melupakan janji kita itu.
*****
29 Desember 2010
“Kak, ini lagu apa?” tanya Pritha sesampainya kami dalam mobil.
“Pak Maman jalan yah. Udah sore nih, kasian Pritha”
“Iya, Den” jawab Pak Maman,sopir pribadi keluargaku, patuh.
“Ih, Pramana. Jawab dong. Ini lagu apa?”
“Iya. Iya. Nyantai aja kali”
“Jadi?”
“. . .” K
“Dasar!! Mending tanya Pak Maman aja. Pak, ini lagu judulnya apa’an yah?”
“Maaf, Non. Pak Maman nggak tahu lagu bule kaya beginian.” Jawab Pak Maman terlalu jujur.
“Emang kenapa sih, Tha?”
“Aku suka ajah. Nggak boleh?”
“Suka lagunya atau penyanyinya?”
“Yee,… “
“Ini lagu judulnya, Seven Years of Love” jelasku
“Kok tahu?”
“Ya tahu lah. Ini lagu kesukaannya Findha. Dulu dia suka banget ama
penyayinya. Jadi dia ngoleksi album plus posternya. Dan ini salah satu
lagunya”.
“Oh. Maaf kalau aku jadi harus ngungkit-ngungkit masalah Findha. Aku..—“
“Nggak apa. Nyantai aja. :)” potongku kemudian.
“Tahun depan, aku harap kita bisa main-main lagi kaya tadi. Tahun
ketujuh persahabatan kita. Dan pastinya terus berlanjut sampe
tahun-tahun persahabatan kita berikutnya.”
“Kamu kenapa sih? Pastinya lah kita bisa terus temenan. Kita masih punya banyak waktu, Tha. Kamu kenapa sih?”
Ia hanya diam. Keheningannya semakin membuatku penasaran akan apa yang
terjadi pada diri Pritha. Sebenarnya apa yang disembunyikan olehnya? Oh,
Pritha. . . .
“Janji?” ucap Pritha sambil mengangkat kelingkingnya.
“Untuk?” tanya ku keheranan.
“Tetaplah menjadi sahabatku dan tetaplah berada di samping dan—“
“Janji” ucapku memotong perkataanya. Ku kaitlan kelingkingku pada kelingkingnya kemudian.
*****
Mei 2011
Ujian sekolah telah usai. Namun, aku beserta kawan-kawan lainnya masih
belum benar-benar merasa merdeka. Kami masih harus berjuang dan bersaing
untuk dapat masuk perguruan tinggi yang kami inginkan. Dan kurang
seminggu ke depan merupakan hari dimana hajat akbar di sekolah kami akan
dilaksanakan, Hari Perpisahan. Hampir semua siswa antusias dalam hal
ini. Berharap ini merupakan sebuah momen yang tepat untuk mengukir
sebuah kenangan terindah yang ada. Namun harapan itu seakan jauh berbeda
akan keadaan yang terjadi belakangan ini. Pritha tiba-tiba menghilang.
Tiada sedikitpun kabar darinya. Ia seakan hilang ditelan sang bumi.
Tak hanya sekali aku menghubungi ponselnya, namun tetap tiada jawaban.
Tak hanya satu dua pesan yang ku kirim padanya, namun tak satupun yang
dibalas. Aku coba mengirim pesan padanya melalui dunia maya, tetap tak
ada respon. Hingga hari ini, sepulang sekolah, ku putuskan untuk
mendatangi rumah Pritha.
Ting tong
Ting tong
Tak ada jawaban. Kali ini adalah panggilan terakhir dariku. Sebagaimana
adab yang ada, jika sang pemilik rumah sudah dipanggil 3 kali dan ia tak
kunjung menyambut. Maka sebaiknya kita pulang, karena mungkin sang tuan
rumah sedang sibuk atau ada suatu kepentingan, atau saja ia sedang
tidak mau diganggu.
Ting tong. . .
Bel terakhir telah aku bunyikan. Berharap kali ini benar-benar mendapat jawaban.
Satu menit…. Dua menit…
“Maaf, Den. Cari siapa?” seorang wanita paruh baya berpakaian sederhana menyambutku. Beliau Bi Imah, pembantu di rumah Pritha.
“Pritha ada, Bi?”
“Em… anu, Den… Emm—“
“Kenapa, Bi? Pritha baik-baik aja kan?” sergapku kemudian.
“Aden ndak tahu toh?”
“Tahu apa. Bi?”
“Non Pritha kan lagi keluar kota sama Tuan dan Nyonya”
“Apa? Kok Pritha nggak pamit ama aku, Bi? Pritha baik-baik aja kan?”
“Em,,, anu, Den.. Bibi… ndak tahu” jawab Bi Imah ragu-ragu.
“Bibi nggak bohong kan?”sergapku pada Bi Imah. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal akan kepergian Pritha dan keluarganya
“Nn…nndak kok, Den. Bener” jawab Bi Imah dengan suara pelan.
“Yaudahlah, Bi. Pramana pulang dulu. Nanti kalau mereka udah pulang,
bilang yah aku kesini nyari Pritha” ucapku pasrah kemudian.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…”
****
Hening masih ada. Berputar-putar di antara kami. Aku, Pak Arif, guru
Biologiku, dan Pak Sucipto, Kepala Sekolah. Aku masih terus
bertanya-tanya akan alasan mengapa aku dipanggil ke ruang kepala
sekolah. Hal penting apa yang akan dibicarakan beliau denganku? Kabar
baik atau kabar buruk? Dua menit sudah pertanyaan itu berputar-putar di
otakku. Dan dalam waktu dua menit pula, aku serasa akan mati tercekik
rasa penasaran.
“Ehem.. ehem…” Pak Kepala sekolah berdehem, tanda beliau akan memulai pembicaraan.
Pak Arief tampak menggut-manggut, tanda beliau siap untuk mendengarkan setiap kata yang akan keluar dari Pak Sucipto.
‘Dag.. dig… dug.. dyar!!’ detak jantungku berdetak kencang, tanda aku
siap untuk menerima segala kabar baik yang ada, juga sebagai tanda bahwa
aku tidak siap menerima kabar buruk yang ada.
“Begini, Nak Pramana……” beliau memulai pembicaraan. “apa kamu sudah
mendaftar untuk jenjang berikutnya di salah satu universitas?”
“I..ii..iya, Pak”
Pak Sucipto hanya manggut-manggut. Perlahan aku mulai berani mengangkat
kepalaku. Ku tatap lekat-lekat kepala botak beliau yang terlihat
berkilau di bawah sinar lampu TL.
“Selamat ya, Nak…” Pak Arief tiba-tiba angkat bicara. “Kamu mendapat
tawaran program beasiswa di alah satu universitas terkemuka, dan—“
“Beneran, Pak!!” sambungku cepat, tak perduli Pak Arief sudah
menyelesaikan kalimatnya atau belum. Yang penting hepi ajalah J. “Wah
makasih nih, Pak…” ku raih tangan Pak Sucipto dan Pak Arief, dan ku cium
punggung tangan beliau berdua bergantian.
“Iya ya , Nak…. Selamat untuk kamu” ucap Pak Sucipto penih wibawa.
“Ada masalah, Pak?”
“Begini, Nak… pihak universitas te;ah melihat hasil belajar kamu selama bersekolah di SMA ini…”
“Dan?”sahutku tak sabar.
“Mereka menawarimu untuk masuk dalam bidang kedokteran. Apa kamu
berminat untuk masuk dalam bidang itu? Asal kamu tahu, Nak. Bapak sangat
mendukung jika kamu masuk dalam bidang itu”
“Begitu pula dengan Bapak, Pramana. Bapak sangat mendukung tawaran itu. Ini kesempatan emas buatmu, Nak…” tambah Pak Sucipto.
“Biar saya pikirkan dahulu, Pak” jawabku sekenanya.
“Baik baik… bapak beri kamu waktu sampai awal bulan depan”
“Terimaksih, Pak”
“Sekarang kamu bisa kembali, Nak”
“Permisi, Pak..”
*****
30 Mei 2011
Kedokteran? Aku benar-benar tak yakin akan tawaran itu. Aku sama sekali
tak tertarik dalam bidang itu. Namun Pak Arif benar juga, ini kesempatan
besar buatku. Aku harus bagaimana?
Masih dibawah pengaruh rasa bingung yang tak karuan, ku buka laptopku.
Ingin ku hilangkan semua penatku. Ku gerakan jemariku merangakai sebuah
URL yang sedang digandrungi remaja sebagian besar, www.facebook.com.
Setelah melaluiproses log in, aku telah sampai pada beranda dunia
mayaku. Betapa terkejutnya aku saat kulihat akan adanya puluhan pesan
dan pemberitahuan pada akun facebook-ku. Dan…. Itu semua dari Pritha.
Dia kembali… pantaskah aku mengatakan kata ‘kembali’ untuk munculnya kabar dari Pritha? Huh, aku tak tahu.
“Pramanaaaaaa… toktoktok” suara Ibu buyarkan lamunan ku yang tak karuan. “Ada Nak Pritha di depan…. Temuin gih,,,”
“Apa? Pritha?” batinku. “Iya, Bu… bentar…” sahutku kemudian. “Pritha
muncul setelah sebulan lebih menghilang…sebenarnya apa yang dia
inginkan?” batinku masih tak percaya.
. . . . . .
“Hai, Pram….” Sapa Pritha saat aku baru muncul dari balik tembok. Aku
masih tak tahu apa yang harus ku katakan padanya. Haruskah rasa marah
dan kecewa atas hilangnya kabar darinya secara tiba-tiba, yang ku
tunjukan? Atau, haruskah ku tumpahkan segala rasa rinduku padanya dan
mengenyampingkan semua kecewaku?
“Ngapain lo kesini?” tanyaku begitu saja.
“Sory Pram,… aku…”
“. . . .”
“Aku ada keperluan ama keluargaku di luar kota. Dan itu mendadak banget. Dan aku—“
“Nggak bisa pamit atau ngasih kabar kek?!” potongku, kesal.
“Em… Aku…”
“Kenapa? Apa susahnya sih, Tha?? Gue kecewa ama lo!!”
“Pram,… aku,,,” dia hanya menangis. Air matanya mengalir deras dari
kedua pelupuk matanya. Huh, aku membenci pemandangan ini, melihat Pritha
menangis.
“Udah lah, Tha! Kalo Lo uda nggak mau kita sahabatan lagi, bilang aja.
Nggak usah kaya gitu, ngilang nggak ada kabar. Sms, e-mail, telpon nggak
ada yang lo respon.” Ucapku mencak-mencak.
“Pram,…” suaranya melemah. Wajahnya yang sedari tadi pucat, makin memucat kini. Air matanya terus mengalir.
Dia menangis.
Aku kian terbakar api emosi.
“keluar dari sini!” ucapku padanya dengan nada lebih rendah dari sebelumnya.
“Pram,… aku—“
“PERGI!!!” bentakku kemudian.
Aku berbalik. Berharap Pritha tak mengetahui akan air mataku yang mulai
meluncur mulus di pipiku. Berharap Pritha segera menghilang dari
rumahku. Masih ku dengar isaknya untuk beberapa lama. Kemudian, ku
dengarkan langkah kaki yang gontai menjauh dariku. Pritha pergi…. Entah
dia akan kembali atau tidak,… aku tak tahu…
Aku masih berdiri terpaku di sini. Di tempat, dimana aku telah mengusir
Pritha, sahabatku. Potongan-potongan episode saat aku bersama dia
bermain dalam memoriku. Bagai film yang tengah di putar pada layar
besar, begitu cepat. Gambaran akan kebersamaanku dengan Pritha teramat
jelas terlihat dalam anganku. Haruskah semua kenangan iindah itu
berakhir sampai disini?
“Prithaaaaaaaa” ku teriakkan namanya sekeras mungkin, berharap dia akan
berhenti menjauh dari rumahku. Ku balikan tubuhku, segera aku berlari
menyusulnya.
“Tha…” ku tangkap sosoknya yang kian menjauh dari pintu utama rumahku.
“Prithaaaaaaaa” kali ini ku teriakkan namanya lebih keras lagi.
Dia berhenti.
Aku pun berhenti berlari.
Dia berbalik.
Aku melangkah mendekatinya.
Dia menatapku.
Aku pun menatapnya.
“Tha…” ucapku dengan napas tersengal.
“Pram,…. Aku—“
“Maafin aku ya, Tha..” ku raih tubuhnya dan menariknya dalam dekapan tubuhku.
“Maaf,…Maaf Pram…” ucapnya sambil terisak dalam dekapanku.
“sssst…..” ku letakkan telunjukku pada bibirnya yang pucat. “Udah,..
udah…semua udah berlalu. Aku yakin kamu punya alasan yang kuat untuk
kepergian kamu. Em,,,,,aku ada kabar baik nih,,,”
“Oh ya… apa?” ucap Pritha sambil mengusap garis air mata di pipinya.
“Aku dapet beasiswa, Tha….”
“Oh ya? Waw, selamat yaa…” ucapnya girang sambil memelukku. “Hebat kamu…jurusan apa?”
“Itu masalahnya… aku bingung. Mereka nawarin aku di bidang kedokteran.. kamu tahu kan, aku kurang ada minat dalam bidang itu—“
“keputusan kamu gimana?”
“. . . “ aku hanya dapat mengangkat bahu.
“Kamu tanya sama hati kamu” ucapnya sambil menunjuk dadaku, menunjuk dimana hati kecil berada
“ :) makasii, Tha. Lo emang yang terbaik…”
“:)”
“Ntar malem aku mau traktir kamu makan. Oke? Buat ngerayain ini. Ntar aku jemput deh. Gimana?”
“Nggak usah jemput lah. Nanti aku usahain ya, Pram…. Aku pulang dulu,
tadi aku bilang ke Mama nggak bakal lama-lama soalnya..
Assalamu’alaikum”
“okeh. See you later, girl!! Jam 7 yah… Ati ati. Wa’alaikumsalam”
*****
20.00
Satu jam lebih aku mematung di sini. Ku lirik jam tanganku, berharap
waktu berhenti detik ini juga. Ingin ku berikan kesempatan pada Pritha
untuk dapat hadir di sini tepat waktu. Tapi….. lagi lagi ia tak tepat
waktu. Lagi lagi ia tak memberikan kabar padaku. Ada apa lagi dengannya?
Akankah dia menghilang lagi?
Jarum jam menunnukan pukul 20.45. Seharusnya kami telah berkumpul,
menghabiskan waktu bersama dengan senda gurau, dengan tawa, dengan
kegembiraan. Tapi…. Yang ada hanya aku yang sendiri, dalam hening, dalam
sepi.
21.00
Ku putuskan untuk kembali ke rumah seorang diri. Seharusnya aku
melangkah pergi dari tempat ini berdua. Mengantar Pritha pulang, karena
hari telah larut. Semua tinggal rencana….. lagi lagi Pritha mengingkari
janjinya. Janji untuk datang pada malam ini. Janji untuk selalu memberi
kabar akan suatu halangan yang terjadi padanya. Lagi lagi Pritha telah
membuatku kecewa.
****
Juni 2011
“Pram,… ada yang nyari tuh!!” seru Rendra kawanku dalam satu tim basket.
“Siapa?”
“Tuh” ucapnya sambil menunjuk seorang gadis bermbut panjang dan berwajah pucat.
“Pritha?”
“. . .”Rendra hanya mengankat bahu. “Cantik loh, tapi sayang wajahnya pucet banget. Temuin sono”
. . . .
“Ngapain lo di sini?” ucapku kesal saat sampai di hadapannya.
“Aku tau hari ini kamu ada jadwal latihan basket. Jadi aku langsung ke
sini aja. Dan ternyata tebakan aku bener, kamu ada di sini”
“Pulang sana! Aku sibuk!”
“Kamu marah?” dia bertanya dengan wajah polosnya. “Pram, ….aku--”
“Peduli apa Lo!! Pulang sana, gue nggak butuh temen kaya Lo!! Muna!”
“Aku bisa jelasin, Pram… malam itu aku—“
“Kenapa? Lo nggak bisa dateng karena jam di rumah lo mati lagi? Hape lo
low batt, jadi lo nggal bisa sms buat ngasih kabar ke gue?!” omelku
panjang lebar padanya. “Udah deh…. Gue capek!! Nggak sekali lo kaya
gini”
“Pram..aku—“
“Dan lo juga tahu kan, gue paling nggak bisa toleran ama orang muna kaya Lo!!!!”
“Tapi, aku punya alasan untuk ini, Pram!!! Dengerin dulu penjelasanku—“
“Udah jelas semua!!!” potongku dengan nada suara yang kian naik. “PERGI
LO!!! Enek gue ngeliat lo di sini!!” kata-kata jahat itu keluar tak
terkendali dari mulutku. “PERGI!!!”
Aku berbalik dan segera melangkah pergi menjauh dari Pritha. Berharap
kali ini aku tak akan berbalik dan mengejarnya seperti dulu. Hatiku
terlanjur luka dan bernanah. Aku benar-benar kecewa.
. . . . .
---beberapa menit kemudian---
“Pram… pram praaam…..” Dudi tergopoh gopoh ke arahku yang sedang asyik berkeluh kesah dengan bola basket.
“Ngapain?” jawabku malas.
“Cewe tadi... cewe yang barusan lo temuin—“
“Kenapa lagi?” potongku cepat. “dia balik lagi? Maksa pengen ketemu gue lagi? Usir aja! Bilang gue lagi sibuk. Repot amat!”
“Eh…. Bukan!!! Denger dulu!!” bantahnya. “Dia pingsan!!”
“hah..” sahutku dengan mata melotot dan hati yang kaget bukan main. “Dimana?”
“Di gerbang depan. Anak-anak lagi ngerubungin dia tuh”.
Segera ku berlari menuju TKP.
Tubuh gadis itu terbujur lemah. Wajahnya kian pucat. Mengalir darah
segar dari kedua lubang hidungnya. Orang-orang di sekitarnya hanya
terdiam, asyik menonton penderitaanya. Segera ku raih tubuhnya. Ku
periksa denyut nadinya. Kian melemah. Pun kulitnya kian terasa dingin.
“Apa yang kalian lihat hah? Panggil ambulans!!! CEPAAAAT!!!!” ucapku mencak mencak tak karuan.
“Pritha……… bertahanlah…..” bisikku padanya lemah.
*****
“Apa? Kanker otak?” aku tercengang. Pritha tidak mungkin mengidap
penyakit itu. Aku tahu dia orang yang kuat. Tuhan….. “Kenapa dia nggak
cerita? Kenapa…. Aku nggak pernah tahu tentang ini?”
“Maafkan tante, Sayang. Pritha sangat sayang sama kamu. Dia melarang
tante dan om untuk cerita penyakit ini ke kamu. Dia nggak pengen kamu
khawatir, Nak” jelas Tante Vivi dengan nada yang sengaja dibuat tenang.
“Separah apa kankernya?”
“Sudah stadium akhir. Sebulan yang lalu kami mencoba untuk menjalani
terapi diluar negeri. Namun, pihak kesehatan di sana sudah menyerah,
Nak. Terlambat bagi kami untuk melawan kanker di tubuh Pritha.
Sesampainya kami di rumah, Pritha langsung merengek memaksa untuk datang
ke rumahmu, Nak. Alhasil, beberepa malam lalu tubuhnya kembali melemah.
Kondisinya drop. Tadi pagi, saat dia sadar dan agak membaik, dia
memaksa agar diantar ke tempat latihan basket tempat kamu biasa latihan.
Dia bilang, dia ada janji sama kamu. Tante nggak yakin untuk ngijinin
dia ketemu kamu, tapi dia memaksa. Dan sekarang………” tante Vivi terisak.
Kalimatnya terhenti. Airmuka yang tadi Nampak tegar, kini berubah
menjadi sesal.
Satu demi satu kejadian yang ada di ceritakan Tante Vivi dengan rinci
meski diselai dengan isak tangis yang kunjung henti dari beliau. Semua
seakan terputar kembali, bagai sebuah film kelam yang sama sekali tak
ingin ku saksikan namun terus ku bayangkan.
“Sabar ya, Te. Pritha itu orang yang kuat. Tante tahu itu kan?” hiburku pada tante Vivi seadanya.
“Semoga saja, Nak. Dia sudah cukup lama menderita karena kanker ini.
Sudah hampir 9 tahun yang lalu. Dulu sempat pulih, dan dokter sudah
menyatakan dia sembuh. Tapi…… kanker itu muncul lagi…… :(” Tante Vivi
tenggelam dalam isakan tangisnya yang pilu.
Papa Pritha terdiam.
Aku pun tertdiam, terduduk lesu penuh sesal. Mengalir air mataku yang
seakan percuma. Karena aku telah gagal melindungi Pritha. Gagal menjaga
Pritha.
Kini aku tak tahu harus berbuat apa. Inginku putar kenbali waktu. Ingin
ku cabut semua kata-kata kasarku pada Pritha. Ingin ku hapus semua
prasangka burukku akan dia. Aku hanya bisa berlari. Membawa diri ini
untuk menjauh dari badan Pritha yang masih dalam kondisi kritis. Aku
ingin terus berlari, berharap menemukan sebuah jawaban atas segala
segala rasa yang kini berkecamuk dalam dada.
Tiba-tiba langit mendung. Tetes-tetes air langit turun basahi tanah
bumi. Gemuruh bergelegar, saling bersautan seakan alam sedang marah.
Apakah sang alam marah padaku atas Pritha? Terkutukkah aku sudah?
. . .
“Tuhan….. kenapa Engkau gariskan ini terjadi padaku??????” teriakku tak
jelas, sesampainya aku pada suatu tempat yang dahulu sering ku
kunjungi..
“Kenapa Engkau biarkan ini terjadi dalam hidupku untuk yang kedua
kalinya, Tuhan? Belum cukup Engkau hancurkan hati ini dengan kepergian
Findha??!!! Kenapa sekarang Pritha juga harus mengalami hal yang sama
dengan halnya Findha?? Apa aku tak boleh bahagia, Tuhan? Apa aku memang
tak pantas untuk mencintai dan dicintai oleh orang-orang istimewa
seperti mereka?”
Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku menyalahkan kuasaNya yang Mahaagung. Tapi, harus dengan siapa lagi aku mengadu kini?
“Findha, lo tahu kan gimana hancurnya hati gue saat lo emang harus
ninggalin gue untuk selamanya?” tanyaku pada pusara yang ada di
hadapanku. “Sekarang, gue harus ngalamin lagi yang namanya kehilangan
orang yang gue sayang, Dek…”
Aku hanya dapat terus terisak. Terus tenggelam dalam banjiran airmata di
bawah guyuran hujan. Terus berkeluh kesah akan semua sakit yang ku
rasa, pada pusara di hadapanku. Pusara yang bernisankan “Findha”. Sosok
teristimewa dalam hidupku. Adikku…..
*****
29 Desember 2011
“Kamu pinter banget menyembunyikan semua ini dari aku. Dasar anak
nakal!” ucapku pada sosok yang masih enggan membuka kedua matanya. Ia
masih lelap dalam tidurnya yang panjang. Meski demikian, aku beserta
keluarga Pritha yakin, Pritha pasti akan bangun dari lelapnya. Bangun
untuk kembali tersenyum. Senyum yang mampu untuk membuat sang mentari
malu dan selalu ingin bersembunyi di balik awan.
“Kamu tahu kan hari ini adalah hari yang kamu tunggu setahun yang lalu.
Tujuh tahun persahabatan kita. Kamu juga tahukan, sekarang aku uda
kuliah di bidang kedokteran. Apa kamu nggak pengen tau ceritaku waktu di
kampus? Seru banget, Tha!” aku terus mngoceh sendiri. Entah,
orang-orang di sekitarku telah menganggapku gila atau tidak. Tak peduli,
yang terpenting Pritha segera sadar dan dapat kembali tersenyum. Walau
matanya terpejam, aku yakin mata hati Pritha mampu merasakan semuanya.
Ku letakkan tangannya di atas kepalaku. Ke genggam erat tangnnya yang
dingin. Ku cium punggung tangannya dengan penuh rindu, penuh sesal.
“Selamat hari persahabatan, Tha. Seven years of our love” bisikku sambil kembali mencium punggung tangannya.
Ku benamkan tubuhku dalam lipatan tanganku. Inginku pejamkan mata, dan
menemuinya dalam alam bawah sadar. Mencari bayangannya dalam tiap
kenangan yang terus mengaduk-aduk otakku.
. . . .
---pukul 21.00---
“Pram…..”
Suara itu terdengar lemah. Suara yang hampir hilang dari pendengaranku 7
bulan lalu. Suara dari sosok yang ku rindu, . . . . . . . .Pritha.
“Kamu udah sadar?” responku spontan. “Biar aku panggil dokter yah, kamu tunggu bentar disini”
“Pram,…” ucap Pritha sambil memegang pergelangan tanganku, menghentikan langkahku.
“Nggak usah. Aku baik kok. Aku lagi nggak pengen dapet ceramah dari dokter. Aku mohon..” ucapnya masih dengan lemah.
“Oke”. Ucapku patuh. “Aku akan kabarin Mama dan Papa kamu-“
“Pram…” kembali Pritha menatapku dalam. Ia menggeleng. “Aku nggak mau ngerepotin mereka”
“ya ya ya” jawabku setengah kesal.
“Makasi :)” ucapnya sambil nyengir.
“Lo tidurnya lama amat, kaya kebo—“ ucapku membuka perbincangan pertama
kami setelah hampir 7 bulan kami mematung dalam perbincangan sunyi.
“Oh ya?”potongnya, berusaha memberi respon yang baik.
“Tapi…. Lo kebo paling cantik di dunia, Tha.”
“Gombal Lo!”
“Aku masuk kedokteran” bisikku.
“Selamat, Pram :)” senyumnya mengembang di bibirnya. Senyum yang selama
ini aku rindukan. “Selamat hari persahabatn, Pram” lanjutnya lirih.
“Selamat juga buat kamu, Tha” dapat ku lihat senyumnya terus mengembang
dalam wajah pucatnya. Senyumnya bagai bintang pagi yang indah.
“Sekarang tanggal berapa?” tiba-tiba dia bertanya demikian.
“29 Desember :)”
“Oh ya? Waktu berjalan cepet banget ya selama aku nggak sadar..”
“Kan aku uda bilang kamu tidur kaya kebo” godaku
“Aku pengen ke taman, Pram. Bukannya kita uda janji untuk pergi ke taman ditahun ke-tujuh persahabatan kita?”
“lo nggak lupa, Tha :). Makasii” batinku “Udah malem, Tha. Kamu juga baru sadar. Besok aja yah”
“Ayolah, Pram….. semua akan beda kalau besok. Bukannya kamu juga udah janji?” rengeknya manja
“Nggak, Tha!!”
“Pram,…. Please”
“Diluar hujan, Tha”
“Aku takut aku nggak punya waktu banyak untuk ini, aku—“
“Lo ngomong apa sih? Kesempatan kita masih panjang” potongku karena risih akan kalimat yang belum terselesaikan oleh Pritha.
“Pram,…” ku lihat mata beningnya mulai tergenangi air mata.
Ini adalah kelemahanku. Aku paling tak tega jika harus melihat seorang
sahabatku seperti itu. “Oke, karena angka 7 merupakan angka bagus dan
katanya sih membawa keberuntungan, aku anter kamu. Tapi inget, kamu juga
harus sesuain sama kondisi kamu” jawabku kemudian.
“Oke, nanti kalau aku uda nggak kuat. Aku bakal ngelambai’in tangan kok :D”
“Snting lo! Aku percaya kamu :)”
“:)”
****
. . .
-pukul 23.45-
Hujan masih belum reda, makin deras malah. Aku dan Pritha masih mematung
memandangi tiap tetes air langit yang turun, kemudian mengembun pada
kaca mobil. Kami berhasil sampai di taman ini dengan usaha yang tak
mudah. Malam ini aku telah melakukan satu tindak criminal. Menculik anak
orang, sekaligus membawa kabur pasien rumahsakit yang baru sadar dari
koma.
“Hujannya nggak kunjung reda. Mending kita balik aja yah. Besok kita ke
sini lagi” ucapku pada Pritha yang sedang asyik melukis pada kaca mobil
dengan embunan air yang ada.
Dia bebalik menatapku. Dia diam dalam beberapa saat. “15 menit lagi hari ini akan berakhir Pram”
“Justru itu, Tha. Mending kita pulang. Hari udah makin malem dan ini sama sekali nggak baik buat kondisi kamu, Tha”
“Karena hari tinggal 15 menit lagi, ayo kita turun dari mobil dan kita
langsung menuju ke rumah pohon. Akan menyenangkan walau waktu kita nggak
banyak” ucap Pritha seakan tak mendengar apa yang aku katakan
sebelumnya.
“Tha,… lo dengerin gue ngggak sih?” protesku pada Pritha yang sedari
tadi terus menerawang jauh dan terus berbicara tanpa melihat aku.
“Pram…. Waktu terus berjalan. Waktu kita nggak banyak” ucapannya seakan
menandakan bahwa ia benar-benar tak memperdulikan setiap ucapanku.
“Ayo, Pram…..” lanjutnya dengan nada memaksa. Setetes bulir bening
meluncur mulus dari hulu pelupuk matanya.
“Tha,… came on…dengerin aku” paksaku sambli menarik tangannya.
“Please,…” ucapnya melemah. Tetes airmata berikutnya menyusul jatuh dari pelupuk matanya.
“Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa Tha. Cuma itu.”
“Aku akan baik-baik aja, Pram. Aku yang tahu seberapa kuat aku bisa bertahan dari semua ini”
Ku tarik napas panjang. Berusaha untuk dapat memutuskan yang terbaik,
tadi aku sudah mengalah untuk nekat membawa kabur Pritha ke taman ini,
dan sekarang…..
“Okelah, Ayo” kubukakan pintu mobil untuknya.
“:) thanks, boy”. Ucapnya senang, tentu dengan sebiah senyum yang sempat hilang selama beberapa bulan lalu.
Sesaat kemudian ia tampak bingung. Sepertinya ada masalah dengan
kakinya. “Bisa bantu aku untuk sampai ke rumah pohon?” tanyanya ragu dan
sungkan.
“Ow,.. withpleasure Princess,…:)” ku raih tubuhnya dan ku bopong dia. “Lo makin berat ya, harusnya tambah enteng!! Dasar kebo!!”
“Sialan lo!! Sini biar aku pegang payungnya” tawarnya padaku.
Angin bertiup makin kencang. Pun hujan tak lekas untuk sekejap
menghentikan tiap tetes yang ada. Hal ini makin memberatkan langkahku
dan Pritha untuk dapat sampai di rumah pohon kami.
“Aaahh,…” Pritha memekik kaget saat tiba-tiba payung yang dibawanya
terbawa tiupan angin. ‘Pram,… maaf.. payungnya…” ucapnya dengan suara
makin lemah yang beradu dengan derasnya suara hujan.
“tenang, Tha. Bentar lagi kita sampe” ucapku tergopoh-gopoh.
Ku percepat langkahku. Tubuhku sudah kuyup, begitu pula Pritha. Melihat
wajahnya yang kian memucat, aku makin khawatir dan merasa serba salah.
. . .
“Kita udah sampe, Tha” ucapku pada Pritha yang tampak kian lemah di
pangkuanku. Wajahnya kian memucat. Guyuran hujan makin membuatnya lemah.
“makasii, Pram…” ucapnya sambil meraba ukiran tulisan yang ada di pohon
Mahoni milik kami. “Makasii kamu udah mau temenin aku, jaga aku—“
“Tha,… udah… :)” ku tatap matanya yang bulat nan penuh akan ketulusan
cinta. Ia tetap menggigil walau sudah mengenakan jaket miliknya. Ku
kenakan jaket ku untuk melapisi tubuhnya yang kuyup. “Aku seneng banget
bisa kenal dan bersahabat ama orang kaya kamu”
“nggak kerasa ya, udah tujuh tahun kita sama-sama. Rasanya baru kemarin,
tapi kenapa ya rasanya hari ini semuanya akan berakhir—“
“Sssstttt,…… ku letakkan telunjukku pada bibirnya yang pucat dan gemetar. “Waktu kita masih panjang” bisikku pilu.
“Aku harap, Pram” ucapnya lelah sambil menarik masuk tubuhnya dalam
dekapanku. “Maaf kalau selama ini aku nyembunyiin masalah ini ke kamu.
Aku udah nggak jujur ke kamu”
Ku peluk ia erat. Semakin lama semakin ku eratkan dekapanku padanya. Dan
makin terasa pula tubuhnya yang kian melemah dan gemetar. “Tha, kita
balik yah. Inget ama janji kamu buat jaga kondisi kamu”
“Nggak, Pram,….” Ia menggeleng di dadaku, dalam dekapanku. “Semenit
lagi, Pram… hanya tinggal semenit hari ini akan berakhir.. tetaplah
seperti ini. Jangan lepaskan semua ini, Pram.” Ucapnya makin lirih dan
lelah dari sebelumnya.
Ku rasakan kulitnya yang kian dingin dalam genggaman tangannya. Ku
eratkan pula dekapanku pada tubuhnya, hanya berharap agar ia masih bisa
merasakan hangat. “Jangan tinggalin aku kaya Findha ya Tha”
“Nggak, Pram. Nggak akan.” Ucapnya pelan. “Dan asal kamu tahu, Findha
nggak pernah ninggalin kamu, dia selalu ada di sisi kamu. Dia
bener-bener adek yang istimewa, Pram. Seperti kata-kata kamu dulu”
“Iya,… dia istimewa” ucapku dengan linangan airmata yang mulai jatuh.
“Sama istimewanya sama kamu, Tha :)” ucapku pahit. “Aku sayang sama
kamu, Tha”
“J aku juga, Pram” ucapnya sambil menatap mataku dalam. “Aku sayaaaang
banget sama kamu :)” ujarnya sambil beruaha tersenyum wajar. Meski tetap
saja senyumnya makin menambah pahit luka hati ini.
“I love you” bisikku.
“really?”
“I do. You’re a special one in my life. My best friend. You never be changed in my heart” lanjutku padanya.
“I’m great to hear that :). I love you too, boy. You’re the best in my life. Kamu anugrah paling indah, Pram.”
Ku dekap tubuhnya. Aku tak kuasa lagi untuk menatap matanya lebih lama.
Tak memiliki daya untuk mendengarkan setiap kata yang diucapnya lirih
dan lelah. Ingin terus ke peluk ia. Tak ingin melepaskannya. Seakan,
jika aku melepaskan dekapanku ini, maka aku akan kehilangan semuanya.
Kehilangan untuk selamanya.
Ku lirik jam tanganku. Waktu telah menunjukan pukul 00.00 Tepat tengah
hari. Jika sang jarum jam bergeser sepersekian detik saja, maka hari
bahagia bagi kami ini berakhir sudah. Bersamaan dengan berjalannya sang
waktu dan bergantinya hari, hujan pun mereda , berganti dengan rintik
gerimis yang turun. Angin yang tadinya bertiup kencang, kini menjinak
berganti dengan tiupannya yang sepoi menenangkan.
“Tha,… ayo balik ke rumah akit. Hari udah berganti. Inget kondisi kamu”
ucapku memecah sunyi saat ku lihat sang waktu menunjukan pukul 00.01
“. . . “
“Tha,…????” ucapku diterjang berjuta tanya. Ku tarik ia dari dekapanku. “Tha….????”
Wajahnya tampak sangat pucat. Bibir merah mudanya, membiru. Kulit
tubuhnya terasa dingin. Sangat dingin. Tubuhnya tak lagi gemetar seperti
tadi. Terkesan tak kuasa bergerak malah.
“Tha…….” Ucapku sambil mengguncang ringan tubuhnya. “Kamu udah janji untuk nggak ninggalin aku, kan? Tha?”
Ku periksa denyut nadinya yang terasa amat lemah. Ku lakukan pertolongan
pertama sederhana. Ku tekan dadanya perlahan, untuk memancing reaksi
dari detak jantungnya.
Tak lama, ia membuka matanya.
Ia tersenyum.
“Pram,…..”
“Sssst,…. Udah. Sekarang aku bawa kamu ke rumah sakit.”
Ia mengangguk pelan. “Aku bahagia banget malam ini.” Ucapnya lelah terbata. “Pram,… maaf aku—“
Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya. Dan pada detik itu pula, tarikan nafasnya memberat, denyut nadinya melemah, dan,………
“PRITHAAAAAAAAA!!!!!!!” aku tak mampu melakukan apapun. Ia pergi. Menyusul Findha di sana. “TUHAAAAAAANNNN,…..”
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun” ucapku pasrah. Ku kecup kenignya
sebagai tanda kasih dan cintaku padanya. Mungkin adalah kesempatan
terakhirku untuk dapat terus manatap mata bulatnya, mendekap erat tubuh
kurusnya.
Angin sepoi-sepoi seakan tak mampu membawa duka ini pergi. Dinginnya
Angin malam yang menusuk tulang, seakan tak mampu saingi kepedihan dan
kepahitan hati ini. Pritha pergi. Separuh jiwa dan hatiku turut pergi
bersamanya. Akankah semua cerita yang ada pun akan pergi bersamanya??
*******
0 komentar